Usabe Sumbu 2010
























































Kemajuan Desa Timbrah, antara Kebanggan dan Pelunturan Nilai Budaya

Kemajuan memang menjadi tuntutan dimasa modern seperti sekarang ini, begitu banyak perubahan yang terjadi, begitu banyak inovasi, kreasi yang diciptakan hanya untuk mempermudah kehidupan manusia. Semua itu tidak terlepas dari tuntutan hidup manusia, yang lebih mengarah ke hidup yang dinamis, praktis dan realis.
Namun apa hal ini layak diterapkan dalam semua aspek kehidupan?????

Sungguh merupakan pertanyaan yang sangat dilematis, mengingat disatu sisi kita sebagai manusia yang kini hidup dijaman modern, dituntut untuk lebih cepat, mudah dan menjadikan kemegahan sebagai hal yang utama. Namun disatu sisi, kita melihat segala perubahan, segala bentuk kemajuan tidaklah selalu sejalan dengan ajaran dan warisan nenek moyang kita terdahulu.


Tulisan ini terinspirasi dari apa yang terjadi di desa kelahiran saya, Desa Timbrah, desa yang sampai saat ini masih sangat erat memegang teguh budaya dan tradisi nenek moyangnya dulu. Desa yang penuh dengan tradisi unik, budaya yang magis dan tentunya struktul cultural masyarakat yang masih sangat tradisional. Banyak perubahan yang sudah terjadi, baik itu perubahan kepemimpinan, perubahan tatanan desa, perubahan birokrasi sampai pada pemugaran dan perelokasian pura.

Perubahan kepemimpinan, ini merupakan siklus dimana kita sebagai masyarkat memang memerlukannya, mengingat kita sebagai satu kesatuan makhluk social membutuhkan suatu bentuk arahan dan aturan yang mungkin dapat ditegakkan dengan adanya bentuk kepemimpinan. Pemimpin dipandang perlu karena dipundak merekalah kita berharap semua perubahan, harapan dan tujuan yang lebih maju kita letakkan. Pada mereka kita berharap ada penyatuan misi dan visi dalam membangun desa, mengembangkan desa tentunya dengan harapan yang sangat mulia. Namun apa artinya bila seorang pemimpin hanya mendengarkan pendapat dan suara dari orang-orang terdekatnya? Bahkan yang lebih miris lagi, mereka yang kita anggap pemimpin hanyalah sebuah boneka, yang menjadi symbol semata. Apa masih pantas kita sebut mereka sebagai pemimpin? Apakah masih layak lo semua harapan kita yang tinggi itu kita tempatkan dipundak mereka?? Memang kita tidak dapat hanya melihat sisi negative mereka saja, karena selama masa mereka, mereka telah melakukan banyak hal untuk desa kita ini. Namun satu hal yang kembali muncul dari benak kita adalah apakah semua yang mereka lakukan murni untuk kepentingan desa? Atau ada hal yang sifatnya lebih pribadi demi kemajuan dan pencitraan mereka sendiri??? Tentu kita sebagai masyarakatlah yang bisa menilai….


Pemugaran pura, hal yang sangat bagus di mata saya. Semua pura memang terlihat lebih megah, lebih modern, dan membuat desa kita seolah-olah tidak tertinggal dari desa-desa lainnya. Pemugaran ini pada dasarnya bertujuan sangat baik, demi membenahi kondisi pura kita yang kondisinya sudah sangat perlu pembenahan. Namun apa mesti kita berbenah dengan basis kemodernan, mengesampingkan nilai-nilai kearifan local yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita? Satu contoh misalnya, pemugaran Pura Kelod Kangin, yang sudah selesai dilaksanakn tahun ini. Bagus memang, puranya jadi kelihatan lebih megah, lebih modern, lebih hebat secara materi dan fisik. Namun tidakkah kita menyadari ada yang hilang dari itu semua? Pintu masuk disebelah barat dihilangkan, ditutup hanya dengan membuka lawang disebelah selatan, yang kalau kita tarik mungkin dari akar pemikiran mereka, itu adalah salah satu bentuk pencontohan bentuk pura modern. Namun seharusnya kita memikirkan baik-baik, kenapa bangunan itu ada dalam bentuk yang seperti itu? Pasti ada sejarahnya kenapa nenek moyang kita membuatnya seperti itu, tidak mungkin segampangan itu mereka berpikir. Mereka membuat seperti itu juga dengan penuh pertimbangan, dan mohon pentujuk sesuunan. Kenapa kita ga coba menggali semua sejarah dan ajaran-ajaran mereka? Kenapa kita lebih mementingkan kebanggan dari pada nilai budaya itu sendiri?
Sama halnya dengan perelokasian pura, apakah mesti kita lebih mementingkan kemudahan kita daripada nilai realigi dan pertimbangan filsafat yang sudah diwariskan oleh nenek moyang kita? Lo memang semua demi kemudahan yang akan kita dapat, kenapa kita tidak merelokasi semua pura kita, menempatkan disatu tempat, yang mudah terjangkau oleh kita? Tidakkah kita pernah berpikir kenapa Pura Lempuyang itu jauh terletak diatas gunung? Kenapa tidak ditempatkankan ditengah kota aja biar lebih dekat, biar kita tidak capek-capek naik ke puncak gunung? Terkadang saya sangat miris mendengar pendapat dari mereka yang notabene lebih PINTAR dari kita, mereka bilang Sesuunan itu sama seperti manusia, tidak mungkin menolak kalau kita buatkan tempat yang lebih bagus.

Okelah, aku sebagai masyarakat mengakui kalian sangat pintar, tapi nol kebijaksanaan. Kalian lebih mementingkan logika, daripada nilai budaya itu sendiri. Satu hal yang perlu kita sadari adalah :

Nenek moyang kita bukanlah tanpa pertimbangan, kenapa mereka membuat seperti itu, kenapa mereka menempat pura itu disitu, ada nilai sejarahnya, ada asal mulanya, “Jadi berhentilah mementingkan kemudahan, kapraktisan, karena hal itu tidak bisa kita terapkan dalam semua hal. Boleh percaya atau tidak, lambat laun, semua ini akan berdampak bagi kehidupan kita, atau bahkan anak cucu kita.”